Selasa, 03 Mei 2011

Surplus Perdagangan Indonesia Turun

Surplus Perdagangan Indonesia Turun Jadi 22,0 Miliar Dolar AS

Jakarta ( Berita ) :  Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan surplus perdagangan Indonesia pada 2008 akan menurun menjadi hanya 22,0 miliar dolar AS dari 32,8 miliar dolar AS pada 2007 akibat laju pertumbuhan impor yang jauh melampaui pertumbuhan ekspor, demikian proyeksi perkembangan ekonomi asia (ADO) terbaru yang dikutip dari situs resmi ADB, Selasa [16/09] .
Dengan demikian, ungkap ADO, surplus transaksi berjalan pada 2008 diproyeksi hanya mencapai 1,1 persen dari PDB, padahal realisasi surplus transaksi berjalan pada 2007 sebesar 2,4 persen dari PDB. . “Secara keseluruhan, neraca pembayaran Indonesia diproyeksi tetap surplus akibat masuknya investasi di sektor ril dan portofolio,” kata ADO.
Sedangkan pada 2009, surplus transaksi berjalan diproyeksi sebesar 1,7 persen akibat pertumbuhan harga komoditas global non-BBM.
Dalam delapan bulan pertama 2008, ADB mencatat ekspor Indonesia tumbuh hanya 28,3 persen, sedangkan impor tumbuh hampir 47 persen, terutama akibat kenaikan harga impor barang-barang komoditas di pasar internasional.
ADB juga memproyeksi, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada semester kedua 2008 akan mencapai 6,0 persen sehingga pertumbuhan ekonomi sepanjang 2008 akan berada pada kisaran 6,2 persen, yang terutama didorong oleh konsumsi akibat agenda pemilu 2009 dan proyeksi melunaknya tekanan inflasi.
Beban subsidi pun, menurut ADB, diperkirakan akan menurun pada 2009 menyusul melunaknya harga minyak dunia sehingga tersedia cukup alokasi untuk belanja pembangunan dan sosial.
Sementara ekspor diperkirakan tumbuh moderat akibat harga komoditas yang cenderung menurun dan belum pulihnya pertumbuhan di pasar ekonomi dunia.
ADB memperkirakan inflasi pada 2008 akan berada pada kisaran 10,2 persen, dengan puncak inflasi berada pada bulan September. Laju inflasi akan melunak menjadi 7,5 persen pada 2009 akibat kebijakan moneter bank sentral. ( ant )
Double Digit
Bank Pembangunan Asia (ADB) memproyeksikan Indonesia akan sulit mengendalikan laju inflasi tahunan sehingga pada akhir tahun nanti akan tetap bertengger pada “double digit” (dua angka), mengikuti apa yang terjadi pada negara-negara di kawasan Asia Tenggara lainnya seperti Kamboja, Filipina, Vietnam, dan Laos.
Proyeksi Perkembangan Asia (ADO) terbaru ADB yang diterima ANTARA di Jakarta, Selasa, menyebutkan pengendalian laju inflasi menjadi tantangan makro ekonomi yang akan sangat menentukan bagi sebagian besar negara-negara Asia tenggara pada tahun ini.
Pertumbuhan ekonomi Asia Tenggara juga diproyeksikan melambat menjadi 5,4 persen dari sebelumnya 6,5 persen, dan diperkirakan bertahan pada level yang sama hingga tahun depan dengan motor utama pertumbuhan adalah ekspor komoditas dan konsumsi.
Dua negara berkembang yang menjadi lokomotif ekonomi Asia, yaitu China dan India juga mengalami nasib yang tidak jauh berbeda akibat pengaruh dari perkembangan situasi eksternal akhir-akhir ini.
Pertumbuhan ekonomi China akan melambat menjadi sekitar 10 persen pada akhir tahun ini dan 9,5 persen pada 2009 dari kisaran 11 persen pada tahun sebelumnya akibat penurunan surplus perdagangan dan perlambatan laju pertumbuhan investasi. China juga diperkirakan akan mengalami inflasi 7,0 persen pada 2008 dan melunak menjaadi 5,5 persen pada 2009.
Setelah mencatat laju pertumbuhan ekonomi triwulan I 2008 sebesar 7,9 persen, atau terlambat sejak 2004, India diproyeksi hanya akan menikmati laju pertumbuhan ekonomi sebesar 7,4 persen pada 2008 dan 7,0 persen pada 2009 dari kisaran 9 persen pada tahun sebelumnya.
Hal tersebut juga dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan untuk mengendalikan inflasi yang pada akhir tahun ini diperkirakan berada pada kisaran 11,5 persen dan 7,5 persen pada 2009.
“Terhentinya sementara laju perekonomian bersama pengelolaan makro ekonomi yang ‘prudent’ dan reformasi dalam rangka memperbaiki efisiensi dan produktivitas akan menciptakan kondisi yang ideal bagi India untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang lebih tingi dalam jangka menengah,” kata laporan tersebut.
Sementara perekonomian Asia yang sedang berkembang akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih moderat menjadi 7,5 persen pada 2009, setelah mengalami pertumbuhan yang paling tinggi selama dua dekade sebesar 9 persen pada tahun 2007.
Laporan tersebut mencatat bahwa harga minyak dan bahan makanan internasional yang terus meningkat, inflasi yang terus tinggi dan pelambatan ekonomi yang berkepanjangan di negara-negara industri, merupakan faktor-faktor yang membayangi perkiraan perkembangan ekonomi di Asia.
“Meskipun harga minyak akan turun dalam jangka pendek, namun harga minyak akan tetap tinggi dan bergejolak dalam jangka panjang. Harga minyak yang tinggi ini akan terus bertahan dan karena harga bahan makanan sangat dipengaruhi oleh harga minyak, maka harga bahan makanan juga akan tetap tinggi,” kata Ifzal Ali, Kepala Ekonom ADB.
ADB menyebutkan, tantangan yang ada di depan mata adalah mengendalikan tekanan inflasi mengingat inflasi di kawasan ini lebih didorong oleh faktor internal yang terlihat dari tingginya permintaan secara agregat akibat longgarnya kebijakan moneter, meski pada beberapa negara ada pengaruh harga internasional.
“Dampak tingginya harga minyak dan bahan makanan dapat dikendalikan di sebagian besar kawasan Asia,” kata Ifzal Ali.
“Temuan penting ini memiliki implikasi yang luas pada kebijakan-kebijakan moneter di kawasan. Terutama, hal ini berarti bahwa kebijakan uang ketat akan tetap menjadi instrumen utama untuk mengendalikan inflasi di Asia,” kata dia.
“Saatnya kita mengencangkan ikat pinggang dan pemerintah memangkas subsidi untuk bahan bakar minyak misalnya, yang selama ini melindungi konsumen dari dampak kenaikan harga. Subsidi sebagai sebuah kebijakan tidak akan bisa bertahan lama. Jika subsidi dicabut, tekanan akan kembali terjadi dan akan meningkatkan inflasi,” tambah dia.
Perkembangan substansial yang mempengaruhi warna ADO terbaru ADB adalah bahwa perlambatan di G3, yaitu AS, Eropa, dan Jepang, diperkirakan akan berlanjut hingga akhir tahun depan, sehingga volume perdagangan dunia juga ikut melambat.
“Baik harga minyak dan pangan dunia diperkirakan akan turun hingga akhir tahun nanti dan tahun depan, meski masih lebih tinggi daripada harga pada 2007,” kata laporan tersebut.
Sedangkan semakin dalamnya krisis finansial dunia, kata ADB, akan menyebabkan beban dan akses pembiayaan semakin sulit bagi ekonomi Asia.
Selain itu, ADB memperkirakan surplus transaksi berjalanpun akan semakin menipis dan defisit semakin melebar sehingga menyebabkan terjadinya depresiasi beberapa mata uang regional dan memberi beban tambahan pada ekspektasi inflasi.
ADB memperingatkan, meski tren pengetatan kebijakan moneter telah menyebar, beberapa negara masih dianggap terlalu lambat karena suku bunga acuan mereka masih dibawah laju inflasi.
Untuk memperbaiki ekonomi, jelas mereka, efisiensi yang signifikan dan perbaikan produktivitas menjadi syarat utama untuk menyelesaikan hambatan keterbatasan sumber daya, terutama lahan dan minyak.
ADB menyimpulkan bahwa implementasi agenda reformasi yang efektif, yaitu yang fokus pada respon konsumen terhadap signal harga serta pada perbaikan efisiensi dan produktivitas produser, sangat mendesak untuk memperkuat daya saing, mempercepat pertumbuhan, dan menghasilkan lapangan kerja yang produktif. ( ant )
Sumber : Berita Sore

Tidak ada komentar:

Posting Komentar