Kamis, 11 Oktober 2012

Etika Akuntan (Studi Kasus PT Kimia Farma)

PERMASALAHAN
PT Kimia Farma adalah salah satu produsen obat-obatan milik pemerintah di Indonesia. Pada audit tanggal 31 Desember 2001, manajemen Kimia Farma melaporkan adanya laba bersih sebesar Rp 132 milyar, dan laporan tersebut di audit oleh Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM). Akan tetapi, Kementerian BUMN dan Bapepam menilai bahwa laba bersih tersebut terlalu besar dan mengandung unsur rekayasa. Setelah dilakukan audit ulang, pada 3 Oktober 2002 laporan keuangan Kimia Farma 2001 disajikan kembali (restated), karena telah ditemukan kesalahan yang cukup mendasar. Pada laporan keuangan yang baru, keuntungan yang disajikan hanya sebesar Rp 99,56 miliar, atau lebih rendah sebesar Rp 32,6 milyar, atau 24,7% dari laba awal yang dilaporkan. Kesalahan itu timbul pada unit Industri Bahan Baku yaitu kesalahan berupa overstated penjualan sebesar Rp 2,7 miliar, pada unit Logistik Sentral berupa overstated persediaan barang sebesar Rp 23,9 miliar, pada unit Pedagang Besar Farmasi berupa overstated persediaan sebesar Rp 8,1 miliar dan overstated penjualan sebesar Rp 10,7 miliar.
Kesalahan penyajian yang berkaitan dengan persediaan timbul karena nilai yang ada dalam daftar harga persediaan digelembungkan. PT Kimia Farma, melalui direktur produksinya, menerbitkan dua buah daftar harga persediaan (master prices) pada tanggal 1 dan 3 Februari 2002. Daftar harga per 3 Februari ini telah digelembungkan nilainya dan dijadikan dasar penilaian persediaan pada unit distribusi Kimia Farma per 31 Desember 2001. Sedangkan kesalahan penyajian berkaitan dengan penjualan adalah dengan dilakukannya pencatatan ganda atas penjualan. Pencatatan ganda tersebut dilakukan pada unit-unit yang tidak disampling oleh akuntan, sehingga tidak berhasil dideteksi. Berdasarkan penyelidikan Bapepam, disebutkan bahwa KAP yang mengaudit laporan keuangan PT Kimia Farma telah mengikuti standar audit yang berlaku, namun gagal mendeteksi kecurangan tersebut. Selain itu, KAP tersebut juga tidak terbukti membantu manajemen melakukan kecurangan tersebut.
Selanjutnya diikuti dengan pemberitaan di harian Kontan yang menyatakan bahwa Kementerian BUMN memutuskan penghentian proses divestasi saham milik Pemerintah di PT KAEF setelah melihat adanya indikasi penggelembungan keuntungan (overstated) dalam laporan keuangan pada semester I tahun 2002. Dimana tindakan ini terbukti melanggar Peraturan Bapepam No.VIII.G.7 tentang Pedoman Penyajian Laporan Keuangan poin 2 – Khusus huruf m – Perubahan Akuntansi dan Kesalahan Mendasar poin 3) Kesalahan Mendasar, sebagai berikut:
“Kesalahan mendasar mungkin timbul dari kesalahan perhitungan matematis, kesalahan dalam penerapan kebijakan akuntansi, kesalahan interpretasi fakta dan kecurangan atau kelalaian.
Dampak perubahan kebijakan akuntansi atau koreksi atas kesalahan mendasar harus diperlakukan secara retrospektif dengan melakukan penyajian kembali (restatement) untuk periode yang telah disajikan sebelumnya dan melaporkan dampaknya terhadap masa sebelum periode sajian sebagai suatu penyesuaian pada saldo laba awal periode. Pengecualian dilakukan apabila dianggap tidak praktis atau secara khusus diatur lain dalam ketentuan masa transisi penerapan standar akuntansi keuangan baru”.
Sanksi dan Denda
Sehubungan dengan temuan tersebut, maka sesuai dengan Pasal 102 Undang-undang Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal jo Pasal 61 Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1995 jo Pasal 64 Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal maka PT Kimia Farma (Persero) Tbk. dikenakan sanksi administratif berupa denda yaitu sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
Sesuai Pasal 5 huruf n Undang-Undang No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, maka:
1. Direksi Lama PT Kimia Farma (Persero) Tbk. periode 1998 – Juni 2002 diwajibkan membayar sejumlah Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) untuk disetor ke Kas Negara, karena melakukan kegiatan praktek penggelembungan atas laporan keuangan per 31 Desember 2001.
2. Sdr. Ludovicus Sensi W, Rekan KAP Hans Tuanakotta dan Mustofa selaku auditor PT Kimia Farma (Persero) Tbk. diwajibkan membayar sejumlah Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) untuk disetor ke Kas Negara, karena atas risiko audit yang tidak berhasil mendeteksi adanya penggelembungan laba yang dilakukan oleh PT Kimia Farma (Persero) Tbk. tersebut, meskipun telah melakukan prosedur audit sesuai dengan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), dan tidak diketemukan adanya unsur kesengajaan. Tetapi, KAP HTM tetap diwajibkan membayar denda karena dianggap telah gagal menerapkan Persyaratan Profesional yang disyaratkan di SPAP SA Seksi 110 – Tanggung Jawab & Fungsi Auditor Independen, paragraf 04 Persyaratan Profesional, dimana disebutkan bahwa persyaratan profesional yang dituntut dari auditor independen adalah orang yang memiliki pendidikan dan pengalaman berpraktik sebagai auditor independen.
PEMBAHASAN
Dalam permasalahan kasus diatas, KAP Hans Tuanakota dan Mustofa (HTM) selaku auditor eksternal yang diberi penugasan audit laporan keuangan sudah jelas dikatakan bersalah. Hal tersebut walaupun HTM sudah berdalih melaksanakan audit sesuai prosedur yang ditetapkan, HTM dikatakan lalai dalam membaca dan memeriksa laporan keungan manajemen sehingga HTM tidak mampu mendeteksi laporan keuangan tersebut apakah mengandung unsur kecurangan atau tidak.
HTM dengan segala pembelaannya yang berdalih bahwa penugasan audit dikatakan telah sesuai dengan prosedur yang ditetapkan ternyata tidak sepenuhnya bisa dibenarkan. HTM terbukti melanggar SPAP SA 110 – Tanggung Jawab & Fungsi Auditor Independen dimana disebutkan bahwa persyaratan profesional yang dituntut dari auditor independen adalah orang yang memiliki pendidikan dan pengalaman berpraktik sebagai auditor independen. Selain itu, dalam paragraf 2 SPAP SA 110 mengatur bahwa auditor bertanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit untuk memeroleh keyakinan yang memadai tentang apakah laporan keuangan bebas dari salah saji material baik yang disebabkan oleh kekeliruan dan kecurangan. Dalam kasus ini, sudah jelas dapat dikatakan bahwa kualitas audit yang dihasilkan HTM sangat kurang sehingga mampu meloloskan kecurangan yang berbentuk penggelembungan laba yang nilainya sangat material dan mampu menyesatkan para pembaca laporan keuangannya.
Penggelembungan laba yang dilakukan oleh klien dalam kasus ini adalah manajemen PT Kimia Farma Tbk seharusnya dapat diantisipasi dari awal mula perikatan akan dijalin dengan KAP HTM tersebut atau pada audit pertama untuk laporan keuangan periode Desember 2001. Sesuai dengan kode etik profesi akuntan publik, sebenarnya telah mengatur etika akuntan publik untuk menjamin bahwa akuntan publik harus memiliki kompetensi dalam melakukan pekerjaan auditnya.
Dalam kode etik Profesi Akuntan Publik Seksi 130 menyebutkan bahwa prinsip kompetensi serta sikap kecermatan dan kehati-hatian profesional mewajibkan setiap praktisi untuk; a. Memelihara pengetahuan dan keahlian profesional yang dibutuhkan untuk menjamin pemberian jasa profesional yang kompeten kepada klien atau pemberi kerja; dan b. Menggunakan kemahiran profesionalnya dengan seksama sesuai dengan standar profesi dan kode etik yang berlaku dalam memberikan jasa profesionalnya. HTM dalam kasus ini dengan jelas melanggar kode etik yang berlaku tersebut karena gagal menerapkan standar profesi khususnya SPAP SA 110 sehingga jasa yang dihasilkan tidak mengandung substansi kompetensi auditor yang harusnya mencakup dan mampu mendeteksi penggelembungan laba yang sangat material dari awal.
Prinsip kompetensi serta sikap kecermatan dan kehati-hatian profesional sangat menentukan kualitas audit yang dihasilkan. Hal tersebut dikaitkan dengan kehandalan dari laporan audit yang dihasilkan akan menjadi bahan pertimbangan pengambilan keputusan oleh pihak yang berkepentingan. Laporan audit yang menyesatkan dapat memberikan dampak buruk kepada para pemakai laporannya dan hasil keputusan yang mereka buat.
Laporan keuangan yang diterbitkan PT Kimia Farma Tbk per 31 Desember 2001 dan disajikan kembali 3 Oktober 2002 setelah di audit oleh HTM menuai kontroversi dan mengakibatkan overstated. HTM dinyatakan lalai, hal tersebut dikarenakan ketidakhati-hatiannya dalam menyatakan sampel audit sehingga mampu meloloskan beberapa salah saji material. Akibatnya, sesuai UU Pasar Modal tahun 1995 disebutkan apabila di temukan adanya kesalahan, selambat-lambamya dalam tiga hari kerja, akuntan publik harus sudah melaporkannya ke Bapepam. Dan apabila temuannya tersebut tidak dilaporkan maka auditor tersebut dapat dikenai pidana, karena ada ketentuan yang mengatur bahwa setiap profesi akuntan itu wajib melaporkan temuan kalau ada emiten yang melakukan pelanggaran peraturan pasar modal. Hal tersebut yang menjerat Ludovicus Sensi W, Rekan KAP Hans Tuanakotta dan Mustofa selaku auditor PT Kimia Farma (Persero) Tbk. Untuk diwajibkan membayar sejumlah Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) untuk disetor ke Kas Negara, karena atas risiko audit yang tidak berhasil mendeteksi adanya penggelembungan laba yang dilakukan oleh PT Kimia Farma Tbk. tersebut, meskipun telah melakukan prosedur audit sesuai dengan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), dan tidak diketemukan adanya unsur kesengajaan.
KESIMPULAN
Setiap auditor independen yang melakukan jasa audit terhadap kliennya dituntut untuk melaksanakan kegiatannya sesuai dengan prosedur yang ditetapkan sebelumnya yang berlandaskan pada SPAP. Memiliki kompetensi serta sikap kecermatan dan kehati-hatian profesional merupakan salah satu kewajiban etis yang harus dimiliki oleh profesi akuntan. Hal tersebut untuk mendukung kualitas audit yang dihasilkan auditor agar tidak terjadi lolosnya salah saji material yang kemudian akan menyesatkan para pemakai laporan keuangan auditan atau pun akan menciptakan dampak ketidakpercayaan publik terhadap jasa audit yang kompeten.


Sumber : http://accounting1st.wordpress.com/2012/07/07/etika-akuntan-studi-kasus-pt-kimia-farma/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar