Tidak semua peristiwa hukum pidana dalam penanganan penyidik selalu diawali dengan penangkapan, biasanya dalam kondisi tertentu saja penyidik melakukan penangkapan, seperti misalnya tertangkap tangan, dan atau tertangkap segera setelah melakukan tindak pidana. Umumnya proses penyidikan diawali dengan pemanggilan yang diduga pelaku tindak pidana, dan baru akan dilakukan penangkapan bila terdapat bukti bukti awal yang kuat telah terjadinya tindak pidana.Dalam hal adanya surat panggilan, sebaiknya mengikuti aturan KUHAP agar kita segera menghadap penyidik untuk memberikan keterangan akan peristiwa pidana yang terjadi. Sebaiknya anda disertai seorang atau lebih penasehat hukum, agar didalam pemeriksaan dihadapan penyidik benar benar memelihara dan menghargai hak hak tersangka sebagaimana diatur dalam KUHAP kita.Karena tidak menutup kemungkinan saat dilakukan pemeriksaan (BAP)oleh penyidik ada hal hal yang diluar kehendak kita sebagai tersangka dan atau saksi.
Bila melalui pemeriksaan awal sudah terindikasi adanya tindak pidana, walaupun statusnya sebagai saksi pada akhirnya akan menjadi tersangka, hal seperti ini bisa terjadi karena memang yang terpanggil benar benar pelaku tindak pidana, namun bisa juga yan terpanggil salah dalam memberikan keterangan dihadapan penyidik. Bagi kalangan awam, menghadap penyidik adalah sebuah beban mental yang amat berat, jika dipaksakan hadir dan diperiksa oleh penyidik ada kemungkinan grogi dan tidak jelas memberikan keterangan sehubungan peristiwa pidana yang terjadi.Manakala penangkapan tiba tiba saja terjadi, sebaiknya anda jangan panik, sikapi kondisi yang ada dengan tenang, upayakan menanyakan dalam hal apa penangkapan itu dilakukan, dan atas dasar apa pula penyidik melakukan penangkapan. Jika tidak jelas siapa yang melakukan penangkapan sebaiknya menghubungi pengurus lingkungan terdekat, seperti Rt atau Rw atau Kepala Kampung terdekat agar dalam penangkapannya diketahui oleh pihak pengurus lingkungan setempat,karena belum tentu anda bersalah dimata hukum, dan tetap berlaku asas praduga tidak bersalah.
Penangakapan adalah suatu tindakan penyidik (Polisi) berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan menurut cara yang diatur dalam Undang undang(Psl1 angka 20 KUHAP).Dalam kehidupan terkadang kita tersandung masalah hukum, meski bukan karena unsur kesalahan oleh diri kita sendiri namun manakala terkena masalah hukum hendaknya disadari jika hidup ternyata tidak hanya kehendak kita saja yang terjadi. Kadang apa yang tidak kita kehendaki justeru malah yang terjadi, sebagaimana para peneliti bidang ilmu eksata,mereka sering menemukan teori baru justeru karena factor ketidak sengajaan. Hal yang mereka tuju sebenarnya (x) misalnya, namun yang malah terjadi malah (y),bagi para ilmuwan hal seperti ini sudah sering terjadi.
Banyaknya kasus salah tangkap akhir-akhir ini terhadap seseorang atau beberapa orang yang tidak bersalah menunjukkan tidak cermat atau cerobohnya polisi dalam menjalankan tugasnya. Kita diingatkan kisah klasik Sengkon dan Karta (1974) yang dijebloskan ke penjara karena dituduh merampok dan membunuh, hal yang tidak pernah mereka lakukan terhadap korban suami-istri Sulaiman dan Siti Haya di Desa Bojong, Bekasi. Atau Budi Harjono yang disangka membunuh ayah kandungnya tahun 2002 di Bekasi ternyata bernasib sama karena tidak pernah membunuh ayahnya sendiri. Tahun 2007, terjadi peradilan sesat atas Risman Lakoro dan Rostin Mahaji, warga Kabupaten Boalemo, Gorontalo, dan menjalani hukuman di balik jeruji besi atas pembunuhan anak gadisnya, Alta Lakoro. Namun, pada Juni 2007, kebenaran terkuak, korban masih hidup dan muncul di kampung halamannya.
Sebelumnya kita masih ingat Kejadian kasus Asrori, korban ke-11 yang diakui Very Idam Henyansyah alias Ryan, si pembunuh berantai. Secara mengejutkan, kematian Asrori terkait dengan pembunuhan demi pembunuhan yang dilakukan oleh Ryan. Berdasarkan pengakuan Ryan, dan tes DNA yang dilakukan oleh Kepolisian ditemukan fakta bahwa pelaku pembunuhan terhadap Asrori bukan ketiga orang yang disangka sebelumnya, melainkan Ryan. Menurut ketiga tersangka, mereka tidak tahan dengan penyiksaan aparat sehingga terpaksa mengaku. Meski Mabes Polri lalu meralat kejadian kesalahan penangkapan itu, sementara itu tiga orang telah ditahan karena sudah berstatus terpidana dan terdakwa atas kasus pembunuhan yang menurut mereka- Devid Eko Prianto, Imam Hambali alias Kemat yang telah divonis penjara oleh Pengadilan Negeri Jombang 10 tahun lebih, serta Maman Sugianto alias Sugik yang sedang disidang Pengadilan Negeri Jombang-tidak pernah mereka lakukan.
Kejadian paling akhir adalah kasus Ruben pata,Yuliani Anni, anak Ruben Pata Sambo dan adik Markus Pata Sambo, dua terpidana mati yang mendekam di dua penjara di Jawa Timur, meyakini kasus yang membelit keluarganya sebagai rekayasa polisi. Sebab, saat penangkapan, tidak ada surat yang dibawa aparat, bahkan mereka langsung diseret ke Mapolres Tana Toraja. “Ayah saya, saat ditangkap di rumah, polisi tidak membawa surat penangkapan. Ayah saya langsung diseret. Begitu juga kakak saya (Markus) diseret di kantornya dan langsung dipukuli oleh oknum polisi,” kata Yuliani kepada wartawan di Malang, Kamis (13/6/2013).Selain itu, Anni juga mengatakan, ayahnya dipaksa oknum polisi untuk menandatanganii surat yang dia tidak tahu isinya. “Karena saat itu, di ruang gelap, tak ada lampunya,” katanya. Seperti diberitakan, Ruben Pata Sambo (72) kini mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Lowokwaru, Malang. Dia kini menunggu eksekusi mati terkait tuduhan menjadi otak pembunuhan sebuah keluarga pada 23 Desember 2005 silam. Tak hanya Ruben yang mendekam di balik jeruji besi, Markus Payta Sambo, putra Ruben, juga dipenjara menanti hukuman mati di Lapas Madaen, Sidoarjo.
Sementata satu lagi anak Ruben, Martinus Pata, divonis enam tahun dan kini sudah bebas.Namun, ternyata bukan mereka yang terlibat dalam kasus yang terjadi di wilayah hukum Kepolisian Resor Tana Toraja tersebut. Sebab, empat pelaku pembunuhan yang sebenarnya telah ditangkap. Mereka pun telah membuat pernyataan bermeterai pada 30 November 2006 lalu dan menyebut Ruben dan anak-anaknya bukan otak ataupun pelaku pembunuhan.
Sumber: Kompas.com
Bayangkan, apabila mereka dituntut atas hukuman mati terhadap kejahatan yang tidak pernah dilakukannya, dan kemudian dieksekusi. Bagaimana mungkin orang tidak bersalah mau mengakui kejahatan yang tidak dilakukannya? Jawaban dari pertanyaan ini tentu saja terkait dengan bagaimana kinerja polisi dalam menjalankan tugasnya tersebut khususnya dalm hal mendapatkan pengakuan orang-orang yang disangka bersalah. Dalam praktik, agar tersangka mengakui perbuatannya, penyidik kepolisian menggunakan berbagai cara, termasuk kekerasan, dan hampir semua korban salah tangkap mengalaminya. Jadi dalam kasus salah tangkap, polisi juga patut dipertanyakan kualitas kerjanya dalam hal melakukan penyidikan, yang berujung salah menemukan tersangkanya.
Sayangnya lagi, salah tangkap tersebut kemudian dilegitimasi oleh pihak penegak hukum yang seharusnya menjadi alat kontrol bagi kepolisian, mulai dari kejaksaan hingga hakim. Dinamika pemeriksaan berkas perkara berada di kejaksaan, mekanisme mulai dari P18 sampai P21 ada di kejaksaan. Kejaksaan seharusnya memiliki alat kontrol, apakah polisi sudah melakukan penyidikan dengan lengkap atau belum. ”Dalam kasus ruben, jaksa langsung memberikan P21 tanpa diperiksa terlebih dahulu.”. Kenyataan ini, memperlihatkan bahwa pemeriksaan di tingkat jaksa itu lemah.
Karena kejaksaan sudah mengetahui berkas tersebut tidak lengkap, kejaksaan mengolah kembali berkas tersebut. ”Di polisi sudah ‘digoreng’, di jaksa ‘digoreng lagi’. Jadilah, faktanya ditambahi. Pada konteks inilah hakim seharusnya melakukan pemeriksaan dengan lebih saksama, karena hakim bertanggung jawab terhadap pemeriksaan di tahap akhir.
Kalau mau diungkap secara jujur, sebenarnya masih banyak kasus salah tangkap yang tidak terungkap yang dilakukan aparat kepolisian, tetapi karena para korban salah tangkap selalu berada di bawah ancaman sehingga mereka menerima nasib dengan menjalani hukuman atas perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. Sistem kerja aparat kepolisisan harus dievaluasi, karena penetapan orang tak bersalah sebagai tersangka adalah sebuah kekeliruan besar dan kasus ini adalah suatu bentuk pelangaran HAM.
Berikut adalah akibat Hukum yang Melakukan Kesalahan dan Konsekuensi orang yang melakukan kesalahan secara hukum dikenakan sanksi, untuk bagi mereka yang melakukan kesalahan tersebut dapat ditemui dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyebutkan :
Dipidana sebagai pembuat delik:
1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta
melakukan perbuatan.
2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau
penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan,
sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan. (Pasal 55 Ayat
1 KUHP). Ketentuan tersebut diatas dapat diterapkan kepada sikap orang. Bagaimana
orang yang menjadi korban kesalahan penangkapan? untuk mengetahui ketentuan
yang mengatur bagi korban salah tangkap dapat diketahui dalam undang-undang
Nomor 48 tahun 2009 tentang hukuman kehakiman yang dalam Pasal 9 ayat 1
menyebutkan bahwa :
(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan
berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau
hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.
(2) Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Ketentuan dalam Pra Peradilan
Arti praperadilan dalam hukum acara pidana dapat dipahami dari bunyi
pasal 1 butir 10 Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang
menyatakan bahwa Praperadilan adalah wewenang pengadilan untuk memeriksa
dan memutus:
a) Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan, atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau permlntaan yang berkepentingan demi
tegaknya hukum dan keadilan;
b) Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas
permintaan yang berkepntingan deml tegaknya hukum dan keadilan dan;
c) Permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau
pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Secara limitattif umumnya mengenai praperadilan diatur dalam pasal 77
sampai pasal 88 KUHAP. Selain dari pada itu, ada pasal lain yang masih
berhubungan dengan praperadilan tetapl diatur dalam pasal tersendiri yaitu
12mengenai tuntutan ganti kerugian dan rehabilitesi sebagaimana di atur dalam pasal
95 dan 97 KUHAP.
Kewenangan secara spesifik praperadilan sesuai dengan pasal 77 sampai
pasal 88 KUHAP adalah memeriksa sah atau tidaknya upaya paksa (penangkapan
dan penahanan) serta memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan, akan tetapi dikaitkan pada 95 dan 97 KUHAP
kewenangan praperadilan ditambah dengan kewenangan untuk memeriksa dan
memutus ganti kerugian dan rehabilitasi.
Perlindungan Saksi dan Korban
Dalam undang No. 13 Tahun 2006 Pasal 7 ayat 3 adalah sebagfai berikut :
Pasal 7 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2006 menerangkan bahwa ketentuan lebih
lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur dalam Peraturan
Pemerintah yaitu melalui PP No. 44 Tahun 2008. Dalam pasal 4 PP ini dijelaskan
bahwa permohonan kompensasi sekurang-kurangnya.hanis memuat:
a) identitas pemohon;
b) uraian tentang peri’stiwa pelanggaran HAM yang berat;
c) identitas pelaku pelanggaran HAM yang berat;
d) uraian tentang kerugian yang nyata-nyata diderita, dan;
e) bentuk Kompensasi yang diminta.
Kemudian ketentuan ayat (2) menyebutkan bahwa permohonan tersebut
harus dilampiri:
a) fotokopi identitas Korban yang disahkan oleh pejabat yang berwenang;
b) bukti kerugian yang nyata-nyata diderita oleh Korban atau Keluarga yang
dibuat atau disahkan oleh pejabat yang berwenang;
c) bukti biaya yang dikeluarkan selama perawatan dan/atau pengobatan yang
disahkan oleh instansi atau plhak yang melakukan perawatan atau pengobatan;
d) fotokopi surat kematian dalam hal Korban meninggal dunia;
e) surat keterangan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang nenunjukkan
pemohon sebagai Korban atau Keluarga Korban pelanggaran hak asasi
manusia yang berat;
f) fotokopi putusan pengadilan hak asesi manusia dalam hal perkara pelanggaran
hak asasi manusia yang berat telah diputuskan oleh pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
g) surat keterangan hubungan Keluarga, apabila permohonan diajukan oleh
Keluarga; dan
h) surat kuasa khusus, apabila permohonan Kompensasi diajukan oleh kuasa
Korban atau kuasa Keluarga.
Kesemuanya tersebut di atas diajukan melalui Lembaga Periindungan
Saksi dan Korban (LPSK), yang kemudian LPSK akan memeriksa secara
substantif isi permohonan tersebut yang kemudian akan dilimpahkan ke
pengadilan HAM untuk diproses. Dalam hal. pemberian kompensasi, pengadilan
HAM menunjuk Departemen Keuangan untuk paling lambat 14 (empat belas) hari
untuk memberikan komoensasi keoada korban.
Di Indonesia pengaturan mengenai perlindungan korban, khususnya korban
salah tangkap telah diimplementasikan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang HAM, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,
13Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
dan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Kesimpulan
1. Berdasarkan Hasil Penelitian dan Pembakaran dalam penelitian ini ketentuan
Perlindungan Hukum Korban Salah Tangkap diatur dalam beberapa undangundang diantaranya, Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undangundang Hukum Acra Pidana (KUHAP), Undang-undang No. 39 Tahun 1999,
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000, Undang-undang No. 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Undang-undang No. 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
2. Pihak yang berwenang melakukan penangkapan dan penahanan adalah
Kepolisian Negara selaku aparatur negara, jika melakukan kesalahan
penangakapan secara yuridis formil dapat dikenakan sanksi.
Sedangkan dalam hal prosedur pengkapan seperti yang di ungkapkan pengakuan yuliani anni anak ruben pata “Ayah saya, saat ditangkap di rumah, polisi tidak membawa surat penangkapan. Ayah saya langsung diseret. Begitu juga kakak saya (Markus) diseret di kantornya dan langsung dipukuli oleh oknum polisi,” kata Yuliani kepada wartawan di Malang, Kamis (13/6/2013). INGAT ! Perbedaan antara penculikan dan penangkapan adalah ada tidak surat. Jika tidak ada surat penangkapan maka itu adalah penculikan. Penangkapan tanpa surat hanya dapat dilakukan apabila Anda tertangkap tangan sedang melakukan tindak pidana. PENANGKAPAN adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Tanpa harus mengungkapkan keberpihakan antara mana yang benar dan mana pula yang salah, maka perlu dijelaskan terlebih dahulu konsep tentang “penangkapan” dan “penculikan”. Samakah penangkapan dengan penculikan itu ?Adapun persamaan yang dapat dikedepankan antara tindakan penangkapan dan tindakan penculikan adalah: pertama, bahwa kedua tindakan itu sama-sama diatur oleh hukum. Tindakan penculikan diatur dan termasuk dalam ruang lingkup Hukum Pidana Materiil; sedangkan tindakan penangkapan diatur dalam lingkup Hukum Pidana Formil.
Penculikan termasuk dalam kategori sebagai tindakan kejahatan, yaitu seperti dirumuskan dalam ketentuan Pasal 328 KUHP, yang selengkap berbunyi: “Barang siapa membawa pergi seorang dari tempat kediamannya atau tempat tinggalnya sementara dengan maksud untuk menempatkan orang itu secara melawan hukum di bawah kekuasaannya atau kekuasaan orang lain, atau untuk menempatkan dia dalam keadaan sengsara, diancam karena penculikan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”Kedua, bahwa tindakan penculikan dan tindakan penangkapan adalah sama-sama mempunyai maksud memindahkan orang lain dari suatu tempat ke tempat lain secara paksa.
Sebagaimana diketahui bahwa Polisi menjalankan tugas, termasuk tugas penangkapan, penahanan, penggeledahan dan sebagainya, adalah berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka atas dasar peraturan perundang-undangan yang berlaku inilah sebenarnya yang memberikan perlindungan hukum terhadap tugas-tugas yang dilakukan oleh polisi agar sehingga tidak dikatakan sebagai tindakan yang melanggar Hak Asasi Manusia.Dalam kaitannya dengan tugas polisi yang melakukan tindakan penangkapan terhadap “Ruben Pata sambo” seperti diuraikan di atas, maka polisi bisa dikatakan tidak melanggar Hak Asasi Manusia, Bila dalam melakukan tindakan penangkapan itu, polisi mengikuti aturan dan tata cara penangkapan berdasarkan hukum yang berlaku. Untuk itu perlu diuraikan aturan main tugas polisi dalam melakukan tindakan penangkapan yang tidak melanggar Hak Asasi Manusia. Di dalam ketentuan Pasal 18 Ayat (1), (2) dan (3) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), ditegaskan:
(1) Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.
(2) Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dulakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik peinbantu yang terdekat.
(3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.
Dari aturan hukum di atas, yang mengatur tentang tata cara penangkapan agar tidak melanggar Hak Asasi Manusia, maka secara gamblang, jelas dan tidak memerlukan tafsiran lagi, yaitu bahwa polisi dalam melakukan tugas penangkapan (bukan tertangkap tangan) harus membekali diri dengan 2 (dua) surat: pertama, menunjukan atau memperlihatkan surat tugas kepada orang yang akan ditangkap (si tersangka). Eksistensi dari surat ini sangat penting, yang mengandung arti agar tidak terjadi tindakan penangkapan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai kewenangan, seperti polisi gadungan. Dengan adanya surat tugas ini, maka tindakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian menjadi tindakan yang sah dan tidak melanggar HAM karena tindakan polisi itu mempunyai landasan legalitas dan mendapat pembenaran secara hukum. Kalau tidak dibekali dengan surat tugas maka ini sama artinya dengan tindakan penculikan. Sebab, belum pernah kita mendengar, misalnya sebelum melakukan tindakan penculikan, si penculik memperlihatkan surat tugasnya. Maka dengan demikian, polisi yang melakukan tindakan penangkapan dengan tidak memperlihatkan surat tugasnya adalah sama dengan melakukan tindakan penculikan dan sekaligus melanggar Hak Asasi Manusia.
Kedua, selain persyaratan surat tugas yang harus diperlihatkan kepada si tersangka seperti diuraikan di atas, pada waktu melakukan tindakan penangkapan, polisi dipersyaratkan pula membawa dan menyerahkan surat perintah penangkapan kepada si tersangka. Surat ini tidak kalah pentingnya sebagaimana dengan surat tugas. Eksistensi dari surat perintah penangkapan ini adalah untuk menghindari terjadinya error in persona atau salah tangkap orang. Karena di dalam surat perintah penangkapan ini tercantum identitas orang yang akan ditangkap: nama, tempat tinggal, jenis kelamin dan sebagainya.
Kejadian yang menimpa “Ruben pata” dan anaknya ditangkap adalah dikarenakan ketidakpatuhan polisi terhadap ketentuan hukum yang berlaku, terutama terhadap ketentuan Pasal 18 Ayat (3), sang keluarga tidak pernah menerima tembusan surat perintah penangkapan; tentang dimana ayah mereka ditahan, apa tuduhannya, dan seterusnya. Sehingga adalah wajar jika keluarga tersebut kelimpungan sekaligus kebingungan karena kehilangan salah satu keluarga nya tercinta. Metode seperti ini persis sama dengan metode penculikan. Tanpa berita, tanpa tembusan surat, dan kadang hilang tak berbekas.
Tragedi tindakan penangkapan tanpa melalui aturan hukum yang dilakukan oleh aparat Kepolisian, sebenarnya telah membuat ketidakamanan dan ketakutan masyarakat, karena dapat saja terjadi sewaktu-waktu, entah itu pada pagi hari atau tengah malam, Anda mungkin dapat saja ditangkap oleh polisi tanpa alasan yang jelas dan tidak memerlukan surat tugas dan surat perintah penangkapan. Ini artinya adalah, bahwa untuk menjalankan tugasnya ternyata polisi justru melakukan tindakan-tindakan dengan cara menteror masyarakat. Karena, bukankah dengan tindakan seperti itu bisa dikatakan bahwa polisi sesungguhnya telah melakukan kegiatan teroris, karena telah membuat masyarakat merasa tidak aman, tercekam dan ketakutan secara meluas ?
Begitu juga dengan penahanan. Apa Itu Penahanan ?
Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh Penyidik(Polisi),atau Penuntut Umum (Jaksa) atau Hakim dengan penempatannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang undang(Psl 1 angka 21 KUHAP).
Penahanan hanya bisa dilakukan dengan adanya atau tebitnya Surat Perintah Penahanan, dan surat ini menjadi hak tersangka untuk mendapatkannya dan kewajiban penyidik terkait untuk menerbitkannya. Perthatikan Surat Penahanan harus memuat identitas tersangka/terdakwa,alasan penahanan,uraian singkat perkara pidana yang disangkakannya atau didakwakanya, dan tempat dimana tersangka atau terdakwa ditahan.Sebelum melakukan penahanan terhadap tersangka, berdasarkan Pasal 21 ayat (1) dan (2) KUHAP, polisi harus membuat surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencatumkan uraian singkat serta alasan penanahan. Selanjutnya, tebusan penanananya diberikan kepada pihak keluarga. Surat Perintah Penahanan merupakan hak tersangka dan atau terdakwa, jika ia dalam posisi dalam rumah tahanan, maka keluarganya mempunyai hak mendapatkan surat dimaksud. Ini merupakan salah satu bentuk penghargaan terhadap hak asasi manusia, lebih lagi dengan adanya asas praduga tidak bersalah, seorang atau lebih tersangka dan atau terdakwa belum dapat dipersalahkan secara hukum.
Yang ditahan dalam rumah tahanan mempunyai hak didampingi Penasehat Penasehat Hukum, baik Pengacara yang disediakan oleh Negara, maupun Pengacara yang dikontrak oleh tersangka atau terdakwa sendiri.Hubungan dengan keluarga, saudara, kenalan, boleh tetap dijalin sepanjang untuk proses hukum, dan tidak membahayakan aparat penegak hukum. Tersangka juga dapat mengajukan Penangguhan Penahanan dengan jaminan keluarganya, dan atau Penangguhan Penahanan dengan jaminan Pengacaranya. Dari sisi kesehatan tersangka dibolehkan mendapatkan kunjungan dokter, rohaniawan, sanak famili, mengirim dan menerima surat dari Penasehat Hukumnya, keluarganya,sepanjang tidak mengganggu proses hukum yang sedang berjalan.
Dengan jelas di sebutkan ”. Pasal 335 KUHP dapat diterapkan bagi semua orang – ‘barang siapa’ (termasuk polisi) – yang memaksa orang lain untuk mengakui suatu perbuatan yang melanggar hukum. Dalam hal ini, mengakui sebuah perbuatan yang tidak dilakukannya adalah kejahatan berbohong (apalagi di bawah sumpah di depan pengadilan).
Coba kita bandingkan dengan kejahatan lain, seperti tanggung jawab pidana seorang pilot atas kecelakaan pesawat yang mengakibatkan tewasnya para penumpang. Atau tanggung jawab seorang dokter atas pekerjaan yang dilakukannya. Keduanya dapat diminta pertanggungjawaban pidana. Dari sini, dapat disimpulkan siapa pun, baik atas perintah undang-undang atau bukan, tetap dapat dipidana sesuai dengan kejahatannya. Seorang polisi, jaksa atau hakim yang keliru menjalankan tugasnya dapat dikenai pidana. Undang-undang tidak boleh digunakan sebagai tameng untuk menutupi sebuah kesalahan yang notabene adalah kejahatan itu sendiri.
Pelajaran dari berulangnya salah tangkap dan prosedural penangkapan,penahanandan salah hukum bagi semua aparat penegak hukum agar tidak terulang lagi di Indonesia adalah male enim nostro iure uti non debemus, yang artinya adalah janganlah kita salah mempergunakan hukum kita.Kisah salah tangkap memang tidak menggambarkan citra kepolisian secara keseluruhan. Namun, sudah menjadi pengetahuan umum praktik penyiksaan tahanan serta kekerasan oleh kepolisian sering menghiasi keseharian tugas kepolisian. Harapan terhadap kepolisian sebagaimana bunyi Pasal 13 (c) UU No 2 Tahun 2002, yaitu “Kepolisian RI bertugas memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”, sepertinya masih jauh panggang dari api,. Mungkin ke depan, dalam pendidikannya, polisi juga perlu diajarkan bagaimana menjunjung tinggi norma-norma moral, kesopanan, kesusilaan serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Institusi kepolisian harus segera berbenah diri menjadi lembaga yang profesional, agar semakin dicintai masyarakat.Dengan cara inilah, kita boleh berharap anggota polisi kita benar-benar bisa diandalkan menjadi pengayom, pelindung, pengaman dan mitra masyarakat.
Harus dipertegas bahwasanya sekarang ini polisi itu adalah sipil yang dipersenjatai pasal 29 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bukan lagi menjadi bagian dari militer dalam pengertianPelanggaran terhadap aturan disiplin dan kode etik akan diperiksa dan bila terbukti akan dijatuhi sanksi. Penjatuhan sanksi disiplin serta sanksi atas pelanggaran kode etik tidak menghapus tuntutan pidana terhadap anggota polisi yang bersangkutan (Pasal 12 ayat [1] PP 2/2003 jo. Pasal 28 ayat [2] Perkapolri 14/2011). . Sehingga, ke depan tidak perlu lagi terdengar muncul kasus salah tangkap aksi kekerasan dan kebrutalan dan pelangaran demi pelangaran yang dilakukan oknum polisi di tengah masyarakat.
Berharap..Kasus salah tangkap, rekayasa hukum dll dan aparat hukum, mulai polisi, jaksa, hakim dan aparat negara yang lain haruslah bekerja untuk kepentingan masyarakat? karena setelah anda anda pensiun.. bisa jadi anda atau keluarga atau keturunan anda, juga akan menjadi korban “ingat hukum karma bos”
Sumber : http://anggryanisekar.wordpress.com/2014/01/01/opini-pelanggaran-hukum-dengan-pelanggaran-etika-ditahun-2013/